Senin, 07 Juli 2014

Politik Perempuan Untuk Islam

Politik Perempuan Untuk Islam

Membincangkan masalah peran perempuan, khususnya di bidang politik, seperti tidak pernah kehabisan daya tarik. Apalagi di tengah-tengah arus globalisasi saat ini, dimana aksi tuntutan-tuntutan yang dilakukan oleh kaum perempuan di Barat sedikit banyak telah turut mempengaruhi kegerahan intelektual dan aksi perempuan di belahan bumi lain, termasuk di Indonesia.
Dalam aksi maupun diskusi tentang perempuan, agak terkesan selalu dimulai dari praanggapan bahwa perempuan berada pada lapis bawah (low-layer), tertindas, dan tidak berdaya dengan bukti faktual sederet kasus seperti soal TKW, PRT, buruh perempuan, eksploitasi perempuan dalam bisnis dan sebagainya, termasuk yang mengemuka di waktu-waktu terakhir ini adalah tuntutan kuota perempuan dalam parlemen.
Oleh karenanya kemudian, menurut mereka, diperlukan perjuangan menuju derajat emansipasif. Dan agar perempuan mampu memperjuangkan kepentingan dirinya tanpa tergantung pada orang lain, diperlukan upaya pemberdayaan (enpowerment) perempuan; serta agar semua langkah dan pikiran yang mendasarinya sah (legitimated), dicarilah legalitas filsafati dari wacana atau diskursus di seputar dunia keperempuanan. Bukan hanya itu, mereka juga merasa wajib untuk membongkar mitos-mitos filsafati bias lelaki semacam “hidup perempuan di seputar sumur, dapur dan kasur” atau bahwa “tugas perempuan adalah masak, macak dan manak”, yang tampaknya telah diterima secara luas baik oleh kaum lelaki maupun perempuan sendiri, yang dianggap membikin kaum perempuan mundur, tertindas dan bahkan telah membikin perempuan menjadi makhluk setengah manusia.
Berkaitan dengan mitos-mitos filsafati tadi, biasanya Islam termasuk yang segera dituding telah memberikan “kontribusi” besar dalam pemunduran dan penindasan perempuan. Ajaran-ajaran Islam yang dikatakan sangat maskulin atau male biased (lihatlah katanya, nabinya saja lelaki, penguasa-penguasa negaranya lelaki, bahkan ini yang sangat kurang ajar, na’udzubillahi mindzalik, dikatakan, tuhannya juga lelaki), tidak akomodatif terhadap aspirasi feminin. Fenomena jilbab, perbudakan, poligami, hak talak pada suami, hak waris dan persaksian perempuan yang hanya separoh lelaki, penekanan pada peran domestik perempuan dan sebagainya selalu ditunjuk sebagai bukti kebenaran tuduhan tadi. Dan yang paling mencolok, menurutnya, di bidang politik dan kemasyarakatan. Islam dituduh sama sekali tidak menghargai peran kaum perempuan. Hadits Nabi riwayat Imam al-Bukhari: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan” misalnya, dikatakannya sebagai biang penghambat. Hadits itu, bahkan juga oleh pemikir feminis muslim, dituduh palsu, tidak otentik dan kehilangan relevansinya dalam kenyataan dunia politik modern sekarang ini. Pertanyaannya, benarkah demikian?
Penilaian di atas tentu saja tidak benar. Perempuan dalam pandangan Islam sesungguhnya menempati posisi yang sangat terhormat. Pandangan Islam tidak bisa dikatakan mengalami bias gender. Islam memang kadang berbicara tentang perempuan sebagai perempuan (misalnya dalam soal haid, mengandung, melahirkan dan kewajiban menyusui) dan kadang pula berbicara sebagai manusia tanpa dibedakan dari kaum lelaki (misalnya dalam hal kewajiban shalat, zakat, haji, berakhlaq mulia, amar makruf nahi mungkar, makan dan minum yang halal dan sebagainya). Kedua pandangan tadi sama-sama bertujuan mengarahkan perempuan secara indivdual sebagai manusia mulia dan secara kolektif, bersama dengan kaum lelaki, menjadi bagian dari tatanan (keluarga dan masyarakat) yang harmonis.
Ketika Islam mewajibkan istri meminta izin pada suami bila hendak keluar rumah atau puasa sunnah misalnya, sementara untuk hal yang sama suami tidak wajib meminta izin pada istri; juga ketika Islam menetapkan hak waris dan persaksian perempuan separoh lelaki, kewajiban perempuan memakai jilbab atau ketika menetapkan tugas utama istri sebagai umm (ibu) dan rabbatul bait (pengatur rumah tangga), dan hak talak pada suami, sesungguhnya Islam tengah berbicara tentang keluarga bukan tentang pribadi-pribadi, orang perorang lelaki atau perempuan, serta kehendak untuk mengaturnya agar tercipta tatanan yang harmonis tadi.
Tuduhan bahwa penetapan peran domestik perempuan dalam Islam dan kewajiban berjilbab adalah bias lelaki, hanya benar bila itu dipandang per-individu perempuan, bukan sebagai suatu mekanisme rasional yang harus ditempuh bila kita menginginkan terciptanya struktur keluarga yang kuat di mana hubungan antara lelaki dan perempuan saling menunjang serta upaya penataan hubungan antara lelaki dan perempuan dalam masayrakat agar etika pergaulan terjaga. Keluarga harmonis dan bahagia, serta masyarakat yang mulia, bukankah itu yang diidamkan oleh setiap manusia? Sehingga tidaklah tepat bila dikatakan bahwa kewajiban-kewajiban seperti itu male bias (sangat maskulin) dan mereduksi peran perempuan sebagai manusia. Kita akan gagal memahami kehendak Islam dalam masalah ini bila kacamata pandang kita terhadap persoalan eksistensi manusia (lelaki dan perempuan) di dunia ini tidak diubah.
Sementara, ketika Islam berbicara tentang wajibnya wanita berdakwah, mendidik umat, di bidang politik menjadi anggota majelis syuro umpamanya, dan untuk itu ia harus keluar rumah, maka Islam tengah berbicara tentang masyarakat dan peran wanita dalam membentuk masyarakat yang baik. Tapi di luar dua hal di atas, Islam sama sekali tidak menghilangkan keberadaan wanita sebagai individu. Ia dibolehkan untuk menuntut ilmu, berpendapat, bekerja, mengembangkan hartanya, memimpin sendiri usahanya dan sebagainya dan sebagainya. Jadi, tuduhan terdapat bias gender dalam ajaran Islam sangatlah tidak beralasan.
Memang tercatat dalam sejarah sekian peristiwa yang menunjukkan gugatan wanita Islam di masa lalu. Tapi semua itu bukanlah dilandasi oleh dorongan seksis demi kepuasan kaum wanita semata, melainkan demi kesamaan kesempatan menuju derajat kemuliaan seorang muslimah. Lihatlah tatkala mereka datang kepada Rasulullah mengajukan tuntutannya, “Ya, Rasulallah mengapa hanya laki-laki saja yang disebut al-Qur’an dalam segala hal, sedangkan kami tidak disebut?” Maka Allah kemudian menurunkan ayat yang menunjukkan bahwa lelaki dan wanita sesungguhnya memiliki peluang sama untuk menjadi makhluk yang mulia:
Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu”, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. al-Ahzab [33]: 35).
Ditegaskan pula, bahwa hasil kerja seseorang tidaklah ditentukan oleh jenis kelamin:
……dan bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 32).
Pada saat lain, perempuan Islam di masa Rasulullah meminta agar diadakan pertemuan khusus buat mereka dalam mempelajari ilmu dan Nabi memenuhi kehendak mereka dengan memberikan waktu khusus. Islam memang mewajibkan menuntut ilmu bagi perempuan dan laki-laki. Karena dorongan mencari ilmu inilah, lelaki dan perempuan Islam bersaing dalam mereguk Ilmu. Aisyah dikenal pada zaman permulaan Islam sebagai “orang yang paling ahli fikih, kedokteran dan puisi”. Sekian hadits sampai kepada kita melalui periwayatan Aisyah.
Demi menegakkan yang benar, mereka tidak segan pula bertindak terhadap pemimpin negara sekali pun. Pada suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengeluarkan keputusan hukum yang melarang perempuan menetapkan mahar yang terlalu mahal, serta menentukan batas-batasnya. Seorang wanita protes dan mengingatkan Umar tentang satu ayat dalam al-Quran:
Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 20).
Umar mencabut kembali peraturan itu sambil berkata, “Perempuan itu benar, dan Umar salah”. Kisah ini menunjukkan kebebasan perempuan untuk melakukan protes politik, jauh sebelum Betty Friedan memimpin gerakan perempuan Amerika Serikat, bahkan jauh sebelum Revolusi Perancis meneriakkan “Liberte, Egalite et Fraternity” Jadi, mau apa lagi?
Bahwa dewasa ini banyak sekali persoalan yang membelit dunia kehidupan perempuan adalah kenyataan yang tidak terbantahkan. Persoalannya kemudian adalah bagaimana menyelesaikannya? Menggugat ajaran Islam yang dikatakan sebagai biang dari pemunduran kaum perempuan telah terbukti salah alamat. Bahkan sejatinya, justru dari ajaran yang agung itu bisa ditegakkan sebuah postur kehidupan kaum perempuan yang shalih secara individual, harmonis dalam keluarga serta mulia secara komunal.
Sebagian pegiat perjuangan perempuan menunjuk pada perlunya ditingkatkan proporsi peran perempuan di dunia politik. Misalnya, melalui penetapan kuota 30% keanggotaan di parlemen. Bisakah tuntutan semacam itu menjawab persoalan? Pertanyaan yang pantas diajukan juga adalah apakah persoalan perempuan menjadi hak eksklusif kaum perempuan untuk menyelesaikannya? Tidak bisakah kaum lelaki mampu diharapkan menyelesaikannya? Bila persoalannya bukan pada siapa, apakah inti persoalannya bukan justru terletak pada tata nilai eksisting yang gagal mengatur kehidupan masyarakat secara baik termasuk dalam mengatur relasi lelaki dan perempan secara adil? Secara demikian, arah perjuangan perempuan sesungguhnya tidaklah berbeda dengan perjuangan kaum lelaki, yakni bagi tegaknya tata nilai tadi. Maka, energi perempuan tentu tidak boleh secara apriori diarahkan untuk sekadar mendobrak tata nilai yang dikatakan didominasi kaum lelaki (male-biased) dan secara kuantitatif menuntut perimbangan-perimbangan statistikal. Meski di dalam parlemen dan kabinet jumlah kaum perempuan kalah jauh dari lelaki, bukankah presidennya adalah perempuan? Logikanya, dengan kedudukan itu mestinya persoalan perempuan dapat diselesaikan. Kenyataannya?
Di sinilah diskusi tentang peran politik perempuan tentu menjadi sangat menarik. Meski persoalan perempuan tidak harus dilakukan sendiri oleh perempuan, tapi peran perempuan dalam soal ini tentu semestinya memang haruslah menonjol.
Akhirnya, diucapkan selamat berdiskusi, mudah-mudahan menemukan solusi bagi masa depan masyarakat yang penuh pancaran ilahi. Amien.

Rakyat Kecil Untuk Politik

Rakyat Kecil Untuk Politik
“Kau, Kau lah, aku gak peduli” ,
“Bukan Masalahku, Kan aku gak terlibat”
Zaman Sekarang, kata kata itulah yang kita selalu dengar dari kebanyakan orang jika melihat orang lain kesusahan.
Kalau logat jakartanya “Elu, ya elu lah. bukan masalah gue”.  Atau malahan tanpa ada rasa respect sama sekali.
Yah, beginilah keadaan mental bangsa saaat ini.
Gak ada rasa tenggang rasa, gak ada perasaan saling tolong menolong sesama manusia, gak ada rasa kekeluargaan. Mentalnya udah berubah ke mental masyarakat modern, yang acuh tak acuh sama keadaan sekitar. Hanya mementingkan kepentingan sendiri.
I still rememmbered….,
Saat aku SD dulu.
Khususnya saat pelajaran PPKN *Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan*
Dimana nilai PPKN ku selalu dapet nilai 0 (nol) saat ujian, sedangkan teman temanku pada berlomba lomba mendapatkan nilai 10. Saat itu selepas pemberitahuan nilai, aku selalu kena hukum dan setrap berdiri sama guru – guruku.
Ya karna aku selalu gagal dalam pelajaran itu. Pokoknya aku langganannya nilai jelek lah, paling tinggi cuma 5.
Ya, nilai raporku untuk pelajaran PPKN selalu mentok di nilai 6,5.
:)
Jujur aku merasa malu, dan merasa minder saat itu. Mungkin…, aku gak menyukai pelajaran sosial itu. Ataupun aku belum bisa begitu memahami pelajaran tersebut.

Namun sekarang, nyatanya. Kulihat jaman sekarang, Malah mereka yang selalu mendapatkan nilai 10, malah berprilaku 0 dalam tindakan nyatanya. Hufft, tah lah. Tah kemana semua ilmu ilmu yang mereka pelajari. Entah kemana semua larinya pemahaman pelajaran PPKN mereka dulu.  Bukannya mereka selalu lulus dalam pelajaran itu? tapi kenapa??? Apa semua gak berarti, Hanya sekedar belajar dan ujian. Hanya sekedar untuk mendapatkan nilai bagus dan Lulus serta naik kelas saja??? Atau hanya sekedar Hiasan nilai RAPOR supaya gak ada nilai merahnya??
Aku selalu ingat kata kata guru PPKN ku sampai sekarang.
Guruku selalu mengajari kami, pelajaran saling tolong menolong dan saling hormat menghormati. Beliau selalu menegaskan
 “Kita sebagai masyarakat sosial, gak boleh mementingkan kepentingan pribadi diri kita sendiri. Kalau ada yang butuh bantuan bantu. Kalau ada yang kesusahan tolong lah meskipun hanya sebuah pertolongan kecil seperti ikut merasakan ataupun berada di sisinya saat dia susah. Lihatlah  sekitarmu dulu, barulah lihat kepentingan pribadimu”
Ya, begitualah inti pelajaran tenggang rasa.
Tapi sekarang ini,,,
Nyatanya keadaannya tidak seperti yang beliau ajarkan.
Gak ada perasaan saling tolong menolong. Gak ada lagi perwujudan nyata tenggang rasa dan kekeluargaan jaman sekarang ini.
Semua hanya mementingkan kepentingan Pribadi. Hanya mementingkan bagai mana caranya dia bisa menjadi “WAHH”.  Bahkan sampai sampai ada yang harus mengorbankan kepentingan orang banyak untuk mendapatkan kata “WAHH” tersebut.  Atau bahkan ada yang saling menjilat satu sama lain
Maaf, bukannya mau menyindir atau mau mengomentari keadaan mental masyarakat Zaman sekarang.
Tapi memang itu lah adanya. Memang itu yang terjadi di lingkungan masyarakat.  Aku cukup lelah Melihat tingkah laku mereka. Capek mendengar janji dan harapan palsu dari mereka yang “WAHH” , yang selalu mereka umbar umbarkan. Terkadang hanya omong kosong.
Hanya NATO. Gak ada perwujudan nyatanya.
Bukannya selama ini mereka merekalah yang selalu mendapatkan nilai 10 dalam pelajaran PPKN???
Bukannya mereka selalu menjadi kebanggaan guru – guru PPKN itu??
Bukannya merekalah yang selama ini dengan angkuhnya dan tatapan sepele mencoba menonjol??
Bukannya mereka yang selama ini merasa paling pintar dan selalu mengaggapku aku *yang selalu dapat nilai 0* Bodoh dalam pelajaran itu??
Tapi sekarang dimanakah mereka mereka semua???
Dimanakah mereka yang dulu yang selalu merasa paling hebat dalam pelajaran tersebut?
Kemana mereka semua??
Kemana semua pemahaman pelajaran PPKN yang selama ini kalian dapat, toh nyatanya yang kulihat prilaku dan pencerminan atas pemahaman itu hanyalah NOL besar.

TEORI ORGANISASI UMUM 2 PENDAPATAN NASIONAL

Pendapatan Nasional

Pendapatan nasional adalah jumlah seluruh pendapatan yang diterima oleh masyarakat dalam suatu negara selama satu tahun.
Konsep Pendapatan Nasional
  • Produk Domestik Bruto (GDP)
Produk domestik bruto (Gross Domestic Product) merupakan jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun. Dalam perhitungan GDP ini, termasuk juga hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah negara yang bersangkutan. Barang-barang yang dihasilkan termasuk barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya, karenanya jumlah yang didapatkan dari GDP dianggap bersifat bruto/kotor.
  • Produk Nasional Bruto (GNP)
Produk Nasional Bruto (Gross National Product) atau PNB meliputi nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun; termasuk hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara yang berada di luar negeri, tetapi tidak termasuk hasil produksi perusahaan asing yang beroperasi di wilayah negara tersebut.
GNP = GDP – Produk netto terhadap luar negeri
  • Produk Nasional Neto (NNP)
Produk Nasional Neto (Net National Product) adalah GNP dikurangi depresiasi atau penyusutan barang modal (sering pula disebut replacement). Replacement penggantian barang modal/penyusutan bagi peralatan produski yang dipakai dalam proses produksi umumnya bersifat taksiran sehingga mungkin saja kurang tepat dan dapat menimbulkan kesalahan meskipun relatif kecil.
NNP = GNP – Penyusutan
  • Pendapatan Nasional Neto (NNI)
Pendapatan Nasional Neto (Net National Income) adalah pendapatan yang dihitung menurut jumlah balas jasa yang diterima oleh masyarakat sebagai pemilik faktor produksi. Besarnya NNI dapat diperoleh dari NNP dikurang pajak tidak langsung. Yang dimaksud pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain seperti pajak penjualan, pajak hadiah, dll.
NNI = NNP – Pajak tidak langsung
  • Pendapatan Perseorangan (PI) Pendapatan perseorangan (Personal Income)adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap orang dalam masyarakat, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa melakukan kegiatan apapun. Pendapatan perseorangan juga menghitung pembayaran transfer (transfer payment). Transfer payment adalah penerimaan-penerimaan yang bukan merupakan balas jasa produksi tahun ini, melainkan diambil dari sebagian pendapatan nasional tahun lalu, contoh pembayaran dana pensiunan, tunjangan sosial bagi para pengangguran, bekas pejuang, bunga utang pemerintah, dan sebagainya. Untuk mendapatkan jumlah pendapatan perseorangan, NNI harus dikurangi dengan pajak laba perusahaan (pajak yang dibayar setiap badan usaha kepada pemerintah), laba yang tidak dibagi (sejumlah laba yang tetap ditahan di dalam perusahaan untuk beberapa tujuan tertentu misalnya keperluan perluasan perusahaan), dan iuran pensiun (iuran yang dikumpulkan oleh setiap tenaga kerja dan setiap perusahaan dengan maksud untuk dibayarkan kembali setelah tenaga kerja tersebut tidak lagi bekerja).
PI = (NNI + transfer payment) – (Laba ditahan + Iuran asuransi + Iuran jaminan social + Pajak perseorangan )
  • Pendapatan yang siap dibelanjakan (DI)
Pendapatan yang siap dibelanjakan (Disposable Income) adalah pendapatan yang siap untuk dimanfaatkan guna membeli barang dan jasa konsumsi dan selebihnya menjadi tabungan yang disalurkan menjadi investasi. Disposable incomeini diperoleh dari personal income (PI) dikurangi dengan pajak langsung. Pajak langsung (direct tax) adalah pajak yang bebannya tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, artinya harus langsung ditanggung oleh wajib pajak, contohnya pajak pendapatan.
DI = PI – Pajak langsung
  • Tujuan mempelajari pendapatan nasional
  1. Untuk mengetahui tingkat kemakmuran suatu Negara
  2. Untuk memperoleh taksiran yang akurat nilai barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat dalam satu tahun
  3. Untuk membantu membuat rencana pelaksanaan program pembangunan yang berjangka.
  • Manfaat mempelajari pendapatan nasional
  1. Mengetahui tentang struktur perekonomian suatu Negara
  2. Dapat membandingkan keadaan perekonomian dari waktu ke waktu antar daerah atau antar propinsi
  3. Dapat membandingkan keadaan perekonomian antar Negara
  4. Dapat membantu merumuskan kebijakan pemerintah.
Perhitungan Pendapatan Nasional
  1. Metode Produksi
Pendapatan nasional merupakan penjumlahan dari seluruh nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh sector ekonomi masyarakat dalam periode tertentu
Y = [(Q1 X P1) + (Q2 X P2) + (Qn X Pn) ……]
2. Metode Pendapatan
Pendapatan nasional merupakan hasil penjumlahan dari seluruh penerimaan (rent, wage, interest, profit) yang diterima oleh pemilik factor produksi adalam suatu negara selama satu periode.
Y = r + w + i + p
3. Metode Pengeluaran
Pendapatan nasional merupakan penjumlahan dari seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh seluruh rumah tangga ekonomi (RTK,RTP,RTG,RT Luar Negeri) dalam suatu Negara selama satu tahun.
Y = C + I + G + (X – M)
Contoh menghitung pendatan nasional

Jenis produksi
Nilai input
Nilai output
Nilai tambah
Kapas
Benang
Kain
Kemeja
0
5.000
7.500
12.500
5.000
7.500
12.500
20.000
5.000
2.500
5.000
7.500


45.000
20.000
Berdasar data di atas maka besarnya sumbangan empat jenis barang untuk pendapatan nasional sebesar Rp 20.000 (nilai tambah) bukan Rp 45.000 (nilai output).
KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL

A.   Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Moneter (Monetary Policy)

Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.

Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1.       Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
      Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar.
2.      Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut  juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policu).
INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :

1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.

4. Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
TUJUAN KEBIJAKAN MONETER
Kebijakan moneter memiliki beberapa tujuan. Adapun tujuan ekonomi moneter adalah untuk mencapai stablisasi ekonomi yang dapat diukur dengan :
·         Kesempatan kerja.
Dengan adanya kesempatan kerja atau lowongan pekerjaan maka makin besar dalam meningkatkan produksi, selain dapat meningkatkan produksi maka dapat juga membantu masyarakat yang menjadi pengangguran.
·         Kestabilan harga
Harga yang makin kian tinggi membuat masyarakat menjadi resah, tiap tahunnya harga barang bukannya menjadi turun tetapi semakin naik, untuk mencegah harga yang semakin naik maka pemerintah menstabilkan harga sehingga harga tidak mengalami kenaikkan setiap tahunnya.
·         Neraca pembayaran internasional
 Neraca pembayaran internasional yang seimbang menunjukkan stabilisasi ekonomi di suatu Negara.
·         Mengedarkan mata uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dalam perekonomian.
·         Mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan likuiditas perekonomian dan stabilitas tingkat harga.
·         Distribusi likuiditas yang optimal dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan pada berbagai sektor ekonomi.
·         Membantu pemerintah melaksanakan kewajibannya yang tidak dapat terealisasi melalui sumber penerimaan yang normal.

B.     Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)

Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
INSTRUMEN KEBIJAKAN FISKAL
Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :

1.      Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.

2.      Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.

3.      Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
  TUJUAN KEBIJAKAN FISKAL
Tujuan kebijakan fiscal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerintah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatn nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N). Biaya transfer pemerintah merupakan pengeluaran-pengeluaran pemerintah yag tidak menghasilkan balas jasa secara langsung. Contoh pemberian beasiswa kepada mahasiswa, bantuan bencana alam dan sebagainya.