Politik Perempuan Untuk Islam
Membincangkan masalah peran perempuan, khususnya di bidang politik, seperti
tidak pernah kehabisan daya tarik. Apalagi di tengah-tengah arus globalisasi
saat ini, dimana aksi tuntutan-tuntutan yang dilakukan oleh kaum perempuan di
Barat sedikit banyak telah turut mempengaruhi kegerahan intelektual dan aksi
perempuan di belahan bumi lain, termasuk di Indonesia.
Dalam aksi maupun diskusi tentang perempuan, agak terkesan selalu
dimulai dari praanggapan bahwa perempuan berada pada lapis bawah (low-layer),
tertindas, dan tidak berdaya dengan bukti faktual sederet kasus seperti soal
TKW, PRT, buruh perempuan, eksploitasi perempuan dalam bisnis dan sebagainya,
termasuk yang mengemuka di waktu-waktu terakhir ini adalah tuntutan kuota
perempuan dalam parlemen.
Oleh karenanya kemudian,
menurut mereka, diperlukan perjuangan menuju derajat emansipasif. Dan agar
perempuan mampu memperjuangkan kepentingan dirinya tanpa tergantung pada orang
lain, diperlukan upaya pemberdayaan (enpowerment) perempuan; serta agar
semua langkah dan pikiran yang mendasarinya sah (legitimated), dicarilah
legalitas filsafati dari wacana atau diskursus di seputar dunia keperempuanan.
Bukan hanya itu, mereka juga merasa wajib untuk membongkar mitos-mitos
filsafati bias lelaki semacam “hidup perempuan di seputar sumur, dapur dan
kasur” atau bahwa “tugas perempuan adalah masak, macak dan manak”,
yang tampaknya telah diterima secara luas baik oleh kaum lelaki maupun
perempuan sendiri, yang dianggap membikin kaum perempuan mundur, tertindas dan
bahkan telah membikin perempuan menjadi makhluk setengah manusia.
Berkaitan dengan mitos-mitos filsafati tadi, biasanya Islam
termasuk yang segera dituding telah memberikan “kontribusi” besar dalam
pemunduran dan penindasan perempuan. Ajaran-ajaran Islam yang dikatakan sangat
maskulin atau male biased (lihatlah katanya, nabinya saja lelaki,
penguasa-penguasa negaranya lelaki, bahkan ini yang sangat kurang ajar,
na’udzubillahi mindzalik, dikatakan, tuhannya juga lelaki), tidak akomodatif
terhadap aspirasi feminin. Fenomena jilbab, perbudakan, poligami, hak talak
pada suami, hak waris dan persaksian perempuan yang hanya separoh lelaki,
penekanan pada peran domestik perempuan dan sebagainya selalu ditunjuk sebagai
bukti kebenaran tuduhan tadi. Dan yang paling mencolok, menurutnya, di bidang
politik dan kemasyarakatan. Islam dituduh sama sekali tidak menghargai peran
kaum perempuan. Hadits Nabi riwayat Imam al-Bukhari: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan
urusan mereka kepada perempuan” misalnya, dikatakannya sebagai biang
penghambat. Hadits itu, bahkan juga oleh pemikir feminis muslim, dituduh palsu,
tidak otentik dan kehilangan relevansinya dalam kenyataan dunia politik modern
sekarang ini. Pertanyaannya, benarkah demikian?
Penilaian di atas tentu saja tidak benar. Perempuan dalam
pandangan Islam sesungguhnya menempati posisi yang sangat terhormat. Pandangan
Islam tidak bisa dikatakan mengalami bias gender. Islam memang kadang berbicara
tentang perempuan sebagai perempuan (misalnya dalam soal haid, mengandung,
melahirkan dan kewajiban menyusui) dan kadang pula berbicara sebagai manusia
tanpa dibedakan dari kaum lelaki (misalnya dalam hal kewajiban shalat, zakat,
haji, berakhlaq mulia, amar makruf nahi mungkar, makan dan minum yang halal dan
sebagainya). Kedua pandangan tadi sama-sama bertujuan mengarahkan perempuan
secara indivdual sebagai manusia mulia dan secara kolektif, bersama dengan kaum
lelaki, menjadi bagian dari tatanan (keluarga dan masyarakat) yang harmonis.
Ketika Islam mewajibkan istri meminta izin pada suami bila hendak
keluar rumah atau puasa sunnah misalnya, sementara untuk hal yang sama suami
tidak wajib meminta izin pada istri; juga ketika Islam menetapkan hak waris dan
persaksian perempuan separoh lelaki, kewajiban perempuan memakai jilbab atau
ketika menetapkan tugas utama istri sebagai umm (ibu) dan rabbatul bait
(pengatur rumah tangga), dan hak talak pada suami, sesungguhnya Islam tengah
berbicara tentang keluarga bukan tentang pribadi-pribadi, orang perorang lelaki
atau perempuan, serta kehendak untuk mengaturnya agar tercipta tatanan yang
harmonis tadi.
Tuduhan bahwa penetapan peran domestik perempuan dalam Islam dan
kewajiban berjilbab adalah bias lelaki, hanya benar bila itu dipandang
per-individu perempuan, bukan sebagai suatu mekanisme rasional yang harus
ditempuh bila kita menginginkan terciptanya struktur keluarga yang kuat di mana
hubungan antara lelaki dan perempuan saling menunjang serta upaya penataan
hubungan antara lelaki dan perempuan dalam masayrakat agar etika pergaulan
terjaga. Keluarga harmonis dan bahagia, serta masyarakat yang mulia, bukankah
itu yang diidamkan oleh setiap manusia? Sehingga tidaklah tepat bila dikatakan
bahwa kewajiban-kewajiban seperti itu male bias (sangat maskulin) dan mereduksi
peran perempuan sebagai manusia. Kita akan gagal memahami kehendak Islam dalam
masalah ini bila kacamata pandang kita terhadap persoalan eksistensi manusia
(lelaki dan perempuan) di dunia ini tidak diubah.
Sementara, ketika Islam berbicara tentang wajibnya wanita
berdakwah, mendidik umat, di bidang politik menjadi anggota majelis syuro
umpamanya, dan untuk itu ia harus keluar rumah, maka Islam tengah berbicara
tentang masyarakat dan peran wanita dalam membentuk masyarakat yang baik. Tapi
di luar dua hal di atas, Islam sama sekali tidak menghilangkan keberadaan
wanita sebagai individu. Ia dibolehkan untuk menuntut ilmu, berpendapat,
bekerja, mengembangkan hartanya, memimpin sendiri usahanya dan sebagainya dan
sebagainya. Jadi, tuduhan terdapat bias gender dalam ajaran Islam sangatlah
tidak beralasan.
Memang tercatat dalam sejarah sekian peristiwa yang menunjukkan
gugatan wanita Islam di masa lalu. Tapi semua itu bukanlah dilandasi oleh
dorongan seksis demi kepuasan kaum wanita semata, melainkan demi kesamaan
kesempatan menuju derajat kemuliaan seorang muslimah. Lihatlah tatkala mereka
datang kepada Rasulullah mengajukan tuntutannya, “Ya, Rasulallah mengapa
hanya laki-laki saja yang disebut al-Qur’an dalam segala hal, sedangkan kami
tidak disebut?” Maka Allah kemudian menurunkan ayat yang menunjukkan bahwa
lelaki dan wanita sesungguhnya memiliki peluang sama untuk menjadi makhluk yang
mulia:
“Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki
dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu”, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala
yang besar.” (Qs. al-Ahzab [33]: 35).
Ditegaskan pula, bahwa hasil kerja seseorang tidaklah ditentukan
oleh jenis kelamin:
“……dan bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka
usahakan, dan bagi para perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan.”
(Qs. an-Nisaa’ [4]: 32).
Pada saat lain, perempuan Islam di masa Rasulullah meminta agar
diadakan pertemuan khusus buat mereka dalam mempelajari ilmu dan Nabi memenuhi
kehendak mereka dengan memberikan waktu khusus. Islam memang mewajibkan menuntut
ilmu bagi perempuan dan laki-laki. Karena dorongan mencari ilmu inilah, lelaki
dan perempuan Islam bersaing dalam mereguk Ilmu. Aisyah dikenal pada zaman
permulaan Islam sebagai “orang yang paling ahli fikih, kedokteran dan puisi”.
Sekian hadits sampai kepada kita melalui periwayatan Aisyah.
Demi menegakkan yang benar, mereka tidak segan pula bertindak
terhadap pemimpin negara sekali pun. Pada suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin
Khattab mengeluarkan keputusan hukum yang melarang perempuan menetapkan mahar
yang terlalu mahal, serta menentukan batas-batasnya. Seorang wanita protes dan
mengingatkan Umar tentang satu ayat dalam al-Quran:
“Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka
harta yang banyak.” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 20).
Umar mencabut kembali peraturan itu sambil berkata, “Perempuan
itu benar, dan Umar salah”. Kisah ini menunjukkan kebebasan perempuan untuk
melakukan protes politik, jauh sebelum Betty Friedan memimpin gerakan perempuan
Amerika Serikat, bahkan jauh sebelum Revolusi Perancis meneriakkan “Liberte,
Egalite et Fraternity” Jadi, mau apa lagi?
Bahwa dewasa ini banyak sekali persoalan yang membelit dunia
kehidupan perempuan adalah kenyataan yang tidak terbantahkan. Persoalannya
kemudian adalah bagaimana menyelesaikannya? Menggugat ajaran Islam yang
dikatakan sebagai biang dari pemunduran kaum perempuan telah terbukti salah
alamat. Bahkan sejatinya, justru dari ajaran yang agung itu bisa ditegakkan
sebuah postur kehidupan kaum perempuan yang shalih secara individual, harmonis
dalam keluarga serta mulia secara komunal.
Sebagian pegiat perjuangan perempuan menunjuk pada perlunya
ditingkatkan proporsi peran perempuan di dunia politik. Misalnya, melalui
penetapan kuota 30% keanggotaan di parlemen. Bisakah tuntutan semacam itu menjawab
persoalan? Pertanyaan yang pantas diajukan juga adalah apakah persoalan
perempuan menjadi hak eksklusif kaum perempuan untuk menyelesaikannya? Tidak
bisakah kaum lelaki mampu diharapkan menyelesaikannya? Bila persoalannya bukan
pada siapa, apakah inti persoalannya bukan justru terletak pada tata nilai
eksisting yang gagal mengatur kehidupan masyarakat secara baik termasuk dalam
mengatur relasi lelaki dan perempan secara adil? Secara demikian, arah
perjuangan perempuan sesungguhnya tidaklah berbeda dengan perjuangan kaum
lelaki, yakni bagi tegaknya tata nilai tadi. Maka, energi perempuan tentu tidak
boleh secara apriori diarahkan untuk sekadar mendobrak tata nilai yang
dikatakan didominasi kaum lelaki (male-biased) dan secara kuantitatif menuntut
perimbangan-perimbangan statistikal. Meski di dalam parlemen dan kabinet jumlah
kaum perempuan kalah jauh dari lelaki, bukankah presidennya adalah perempuan?
Logikanya, dengan kedudukan itu mestinya persoalan perempuan dapat
diselesaikan. Kenyataannya?
Di sinilah diskusi tentang peran politik perempuan tentu menjadi
sangat menarik. Meski persoalan perempuan tidak harus dilakukan sendiri oleh
perempuan, tapi peran perempuan dalam soal ini tentu semestinya memang haruslah
menonjol.
Akhirnya, diucapkan selamat berdiskusi, mudah-mudahan menemukan
solusi bagi masa depan masyarakat yang penuh pancaran ilahi. Amien.
Membincangkan masalah peran perempuan, khususnya di bidang politik, seperti tidak pernah kehabisan daya tarik. Apalagi di tengah-tengah arus globalisasi saat ini, dimana aksi tuntutan-tuntutan yang dilakukan oleh kaum perempuan di Barat sedikit banyak telah turut mempengaruhi kegerahan intelektual dan aksi perempuan di belahan bumi lain, termasuk di Indonesia.